SOLO, KOMPAS.com — Sistem pembelajaran Matematika di sekolah menengah pertama (SMP) sampai saat ini dinilai cenderung text book oriented. Matematika kurang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan belum sesuai dengan harapan masyarakat."Pembelajaran sistem ini cenderung abstrak sehingga konsep akademik sulit dipahami dan hasilnya belum sesuai harapan," kata Prof Sutama di Solo, Kamis (6/1/2011), yang akan dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Administrasi Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Sabtu (8/1/2011).
Ia mengatakan, kesenjangan lain di lapangan, guru dalam mengajar Matematika kerap kurang memerhatikan kemampuan awal siswa. Guru tidak melakukan pengajaran bermakna dengan metode pengajaran yang kurang variatif dan terkesan membosankan.
"Akibatnya, motivasi belajar siswa sulit ditumbuhkan dan pola belajarnya cenderung menghafal," tegasnya.
Sutama menuturkan, kenyataan tersebut juga didukung data dari Direktorat Jenderal Pendidikan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), yang menyatakan hingga tahun 2009 baru sebanyak 347.300 guru yang memenuhi kompentensi sehingga layak disebut sebagai guru yang profesional. Secara keseluruhan, baru sekitar 13,32 persen guru dari jumlah total guru di semua jenjang (2.607.311) yang dinyatakan kompeten atau profesional.
Lebih lanjut ia mengatakan, hasil kajian PMPTK tahun 2009 (data lulusan sertifikasi kuota tahun 2006/2007 dan 2008) menunjukkan peningkatan kinerja guru yang telah lulus sertifikasi, baik melalui penilaian portofolio maupun PLPG belum signifikan. Namun, secara umum peningkatan kompetensi guru yang lulus sertifikasi melalui PLPG sedikit lebih meningkat dibanding kompetensi guru yang lulus sertifikasi melalui penilaian portofolio.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar